MAKALAH
“MemahamiPancasilaSebagaiEtikaPolitik”
DOSEN PEMBIMBING :ADIL MUBARAK,S.IP.,M.Si
DISUSUN OLEH
Kelompok 2
1. ANGGUN
2. AULIA SUNDARI
3. ERRA HAZLIA
4. INDRA SAPUTRA
5. ISMAWATI
6. IRFAN SAPUTRA
7. MUTIARA SARI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
TAHUN AJARAN
2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas makalah ini yang ditujukan untuk memenuhi
tugas pancasila dengan judul “Memahami Pancasila Sebagai Etika Politik”. Kami banyak mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan informasi dan
saran, terutama kepada bapak Adil Mubarak,S.IP.,M.Si selaku dosen Pembimbing pancasila dalam menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari akan
kekurangan dalam penulisan dan penyusunan penulisan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
Padang,
September 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
1.3
Tujuan ......................................................................................................................... 2
1.4
Manfaat....................................................................................................................... 3
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Etika ........................................................................................................ 3
2.2 Pengertian Nilai........................................................................................................... 5
2.3 Pengerian Norma......................................................................................................... 8
2.4 Pengertia Moral........................................................................................................... 9
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Isi............................................................................................................................... 10
BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan ................................................................................................................... 25
4.2 Saran ......................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pancasila
sebagai dasar Negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara
di Republik Indonesia. Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik
Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila.
Kesadaran
etik yang merupakan kesadaran relational akan tumbuh subur bagi warga
masyarakat Indonesia ketika nilai-nilai pancasila itu diyakini
kebenarannya, kesadaran etik juga akan lebih berkembang ketika nilai dan moral
pancasila itu dapat di implementasikan kedalam norma-norma yang di berlakukan
di Indonesia .
Pancasila
juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai
sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum,
norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung
didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional,
sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan
suatu nilai.
Oleh
karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan
norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan suatu nilai yan bersifat mendasar.
Nilai-nilai
pancasila dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu
pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan
tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian
yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
Maka
pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila
merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan
sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa
indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa materialis).
Pancasila
merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik
meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan
lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan
kenegaraan maupun kebangsaan.
1.2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah dalam penulisan ini makalah ini
adalah apa itu pengertian etika , bagaimana pancasila sebagai system etika,
bagaimana pancasila sebagai etika politik, dan bagaimana etika politik Indonesia
?
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian etik, nilai, norma dan moral dalam
konteks pancasila sebagai sistem etika.
2.
Dapat mengerti hubungan antara
nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik.
3.
Dapat memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik dan bagaimana etika
politik Indonesia.
1.4 Manfaat
Dari penulisan yang telah dilakukan oleh
penulis manfaat yang dapat diperoleh yaitu :
1. Menambah pengetahuan tentang apa itu nilai, norma, dan moral dalam etika
politik
2. Menambah wawasan tentang etika politik di Indonesia
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian
Etika
Etika (etimologik), berasal dari
kata Yunani “Ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Etika dan Moral
sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral
dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika untuk pengkajian
system nilai-nilai yang ada.
Istilah lain yang identik dengan
etika (Achmad Charris Zubair. 1987. 13-14) :
a. Susila (
Sansekerta)
b. Akhlak ( Arab )
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi, menjadi
beberapa cabang menurut lingkungan masing-masing.Cabang-cabang itu dibagi
menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat
praktis. Filsafat pertama berisi tentang segala sesuatu yang ada sedangkan
kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada
tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu
keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui.
Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas.Yang
dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang
lebih mendasar dan kritis.Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral,
melainkan merupaka filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. (Franz Magnis-Suseno. 1986.
14-15).
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi.dua
kelompok yaitu etika umum dan etika khusus.Etika merupakan suatu pemikiran kritis
dan mendasar tentang ajaran-ajaran danpandangan-pandangan moral.itu dalam
hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987).
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan
mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita
harus menggambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai
ajaran moral (Suseno, 1987).
Etika umum merupakan prinsip- prinsip yang berlaku bagi
setiap tindakan manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsipEtika
khusus dibagi menjadi etika individu yang membahas
kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang
kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan
suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika
pada pada umumnya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat
nilai "susila" dan "tidak susila", "baik" dan
"buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan
dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang
memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika
banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam
hubungan dengan, tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat
juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis
dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang
membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi
dua kelompok. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.Etika adalah ilmu yang membahas tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita
bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok
etika itu adalah sebagai berikut :
1. Etika
Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2. Etika
Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etikaindividual)
maupun mahluk sosial (etikasosial).
Etika, dalam hal prinsip-prinsip etis, menjadi karakteryang
memodifikasi , baik bagi konsep Demorasi maupun konsep Politik. Oleh sebab itu,
penggunaan dua term itu menegaskan karakter khusus yang diaktulkan, yaitu
dimensi etis manusia didalam kemanusiaannya.Demikian pula korelasi antara
Demokrasi dan Politik.Idea demokrasi ini didasarkan pada kebebasan, kesamaan,
dan kehendak rakyat banyak yang diletakkan sebagai alat ukur politik. (
Hendra Nurtjahjo. 2005. 16 )
2.2 Pengertian
Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang
ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok.Jadi nilai itu pada
hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan
demikian,maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk
menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan.
Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak
berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya.Penilaian
itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai,
yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.
Nilai atau “value” (bahas Inggris) termasuk bidang kajian
filsafat, persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu
cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, theory of value). Filsafat
sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam
bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya
“kebiasaan” (wath) atau kebaikan (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu
tindakan kejiwaan tentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229)
Di dalam Dictonary of Sosciology and Related Sciences
dikemukakan nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Pada hakikaknya nilai adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Nilai
itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “ tersembunyi” dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyatan-kenyataan
lain sebagai pembawa nilai ( wartrager).
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia
untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk
selanjutnya diambil keputusan. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subyek
penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia sebagai
subyek penilai, yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa ( kehendak) dan
kepercayaan. Sesuatu itu bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar,
indah, baik dan lain sebagainya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das
Sollen, bukandas Sein, kita masuk kerohanian bidang makna
normatif, bukan kognitif, kita masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real.
Meskipun demikian, diantara keduanya, antara das Sollen dan das
Sein, antara makna normatif dan
kognitif, antara dunia ideal dan dunia real itu saling berhubungan atau saling
berkaitan secara erat. Artinya bahwa das Sollen itu harus
menjelma menjadi das Sein, yang ideal harus menjadi real yang
bermakna normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang
merupakan fakta.
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah,
memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat, martabatnya. Nilai
bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan
perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu
wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya.Cita-cita, gagasan, konsep
dan ide tentang sesuatu wujud kebudayaan sebagai sistem nilai.
Oleh karena itu, nilai dapat dihayati atau dipersepsikan
dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang abstrak. Manusia
dalam memilih nilai-nilai menempuh berbagai cara yang dapat dibedakan menurut
tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan kenyataannya. Nilai sosial
berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan menekankan pada segi-segi
kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik berpusat pada kekuasaan serta
pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga,
berguna, memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya.
Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator)
sikap dan perilaku manusia.Nilai sebagai suatu system merupakan salah satu
wujud kebudayaan di samping system social dan karya.Oleh karenaitu,
Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
pada enam macam, yaitu : nilaiteori, nilaiekonomi, nilaiestetika, nilaisosial,
nilaipolitikdannilaireligi.
Di dalam Dictionary of sosiology and Related Sciences
dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok, ( the believed capacity of any object to
statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya maka
nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu:
1. Nilai
Dasar
Walaupun nilai memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati
melalui indra manusia, maupun dengan realisasinya nilai berkaitan dengan
tingkah laku atau segala aspek kehidupan manusia yang bersifat nyata (praksis)
namun demikian setiap nilai memiliki nilai dasar (dalam bahasa ilmiahnya
disebut dasar onotologis), yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna
yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal
karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu misalnya hakikat
tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya.
2. Nilai
Instrumental
Nilai instrumental adalah manivestasi dari nilai dasar, dan
ini berupa pasal-pasal UUD 1945, perundang-undangan, ketetapan-ketetapan, dan
peraturan-peraturan lainnya yang berfungsi menjadi pedoman, kaidah, petunjuk
kepada masyarakat untuk mentaatinya.
3. Nilai
Praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran dari instrumental dan
nilai praksis ini berkaitan langsung dengan kehidupan nyata yaitu suatu
kehidupan yang penuh diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangantertentu.
2.3 Pengertian Norma
Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk tingkah laku
yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi
tertentu.
Norma sesungguhnya perwujudkan martabat manusia sebagai
makhluk budaya, sosial, moral dan religi.Norma merupakan suatu kesadaran dan
sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu,
norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma
kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat
dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a. Norma agama, dengan sanksinya dari
Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya
rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri,
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya
berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat,
d. Norma hukum, dengan sanksinya berupa
penjara atau kurungan atau denda yang dipaksakan oleh alat Negara.
2.4 Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan,
tabiat, kelakuan.Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang yang taat kepada
aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya
,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya terjadi,
pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat
berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia.
Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan
norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral,
filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma
dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Politik
Pengertian ‘politik’ berasal dari kosakata ‘politics’, yang memiliki
makna bermacam– macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘ negara’, yang
menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan
pelaksanaan tujuan itu. Berdasarkan pengertian – pengertian pokok tentang
politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep – konsep pokok
yang berkaitan dengan negara ( state), kekuasaan ( power), pengambilan
keputusan ( decision making), kebijaksanaan ( policy), pembagian (
distribution), serta alokasi ( allocation).
Pengertian politik secara sempit, yaitu bidang politik lebih
banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan negara, lembaga – lembaga
tinggi negara, kalangan aktivis politik serta para pejabat serta birokrat dalam
pelaksanaan dan penyelengaraan negara.Pengertian politik yang lebih luas, yaitu
menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut
masyarakat negara.
Muncul
pertanyaan bagaimana Keadaan Politik saat Ini : Menurun Ataukah Timbul Kembali ?
Walaupun dalam perjalanan sejarahnya filsafat politik menempati kedudukan yang
penting, tapi tradisi yang memungkinkan lahirnya karya-karya para filsuf yang
terkenal boleh dikatakan hamper berakhir. David Easton, Alfred Cobban dan
lainnya berpendapat bahwa teori politik kini telah mengalami kemerosotan yang
tajam. Kemerosotan ini timbul akibat adanya kemiskinan, pemiskinan,
historisisme, relativisme, kekacauan antara ilmu pengetahuan dan
teorihyperfaktualisme,dan kondisi internal ilmu politik. ( Varma. 1982.
116-105 ).
Tujuan politik, antara lain : –membentuk suatu masyarakat
yang baik dan teratur /good society (Aristoteles) –mengembangkan kehidupan
orang lain (Paul Wellstone)
B.
Dimensi Politis Manusia
a.
Manusia sebagai Makhluk
Individu-Sosial
Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak
dapat mungkin memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu
anggapan bahwa sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau sosial saja.
Dalam kapasitas moral kebebasan manusia akan menentukan apa yang harus
dilakukannya dan apa yang tidak harus dilakukannya.
Konsekuensinya ia harus mengambi sikap terhadap alam dan
masyarakat sekelilingnya, ia dapat menyesuaikan diri dengan harapan orang lain
akan tetapi terdapat suatu kemungkinan untuk melawan mereka.
Dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan
kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan
masyarakat secara keseluruhan.Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk
bertindak.Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap
aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan
tindakan moral manusia, sehingga manusia mengerti dan memahami akan suatu kejadian
atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat
dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain
dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat
dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka
harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif.
Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum.Dalam suatu
kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota
masyarakat bagaimana mereka harus bertindak.Hukum hanya bersifat normatif dan
tidak secara efektif dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat
kepada norma-normanya.Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan
kekuasaan masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan
kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara.
Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan
yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat.Namun perlu dipahami
bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat
manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Jadi lemabaga negara yang memiliki
kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak untuk hidup bersama (
Suseno :1987 :21).
Manusia adalah bebas sejauh ia sendiri mampu mengembangkan
pikirannyadalam hubungan dengan tujuan-tujuan dan sarana-sarana kehidupannyadan
sejauh ia dapat mencoba untuk bertindak sesuai dengannya. Dengan kebebasannya
manusia dapat melihat ruang gerak dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak,
sehingga secara moral senantiasa berkaitan dengan orang lain.
Oleh karena itu bagaimanapun juga ia harus memutuskan
sendiri apa yang layak atau tidak layak dilakukannya secra moral. Ia dapat
memperhitungkan tindakannya serta bertanggung jawab atastindakan-tindakan tersebut.
1. Pengertian Etika Politik
Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan
kebaikan dan kejahatan.Etika politik yang demikian, memiliki tujuan menjelaskan
mana tingkah laku politik yang baik dan mana yang jelek.Apa standar baik?Apakah
menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah
bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum.Jadi kalau politik
sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika
politik yang buruk.Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini.
Etika politik bangsa Indonesia dibangun melalui
karakteristik masyarakat yang erdasarkan Pancasila sehingga amat diperlukan untuk
menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal.
Karena itu, etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa
aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka
seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa
rasa malu dan bersalah.Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan
(kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa
bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya ada dua hal: (a) pudarnya nilai-nilai etis yang
sudah ada, dan (b) tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan
moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi
budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau
belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk membuka
seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Pokok permasalahan etika politik Adalah legitimasi kekuasaan
yang dirumuskan dengan pertanyaan dengan moral apa seseorang atau sekelompok
orang memegang dan menggunakan kekuasaan yang mereka miliki? Betapapun besarnya
kekuasaan seseorang, dia harus berhadapan dengan tuntutan untuk
mempertanggungjawabkannya.secara etika politik, seorang penguasa yang
sesungguhnya adalah keluhuran budinya.
Tanpa disadari, nilai etis politik
bangsa Indonesia cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral.
Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua
jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para
pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik
(dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run
away”) menuju ke arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisadihargai dengan uang.
Namun demikian, perlu dibedakan antara etika politik dengan
moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan
politisi secara pribadi (dan memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia
korup atau tidak (di sini tidak dibahas).
Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika
politik seperti:
a. Perpisahan antara kekuasaan gereja
dan kekuasaan Negara (John Locke)
b. Kebebasan berpikir dan beragama
(Locke)
c. Pembagian kekuasaan (Locke,
Montesquie)
d. Kedaulatan rakyat (Rousseau)
e. Negara hukum demokratis/republican
(Kant)
f. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
g. Keadilan social
Etika politik tidak diatur dalam hukum tertulis
secaralengkap akan tetapi melalui moralitas yang bersumberpada hati nurani,
rasa malu kepada masyarakat dan rasatakut kepada Tuhan yang Maha Esa.Dalam
kehidupan politik bangsa Indonesia banyak suaramasyarakat yang menuntut
dibentuknya dewankehormatan pada institusi kenegaraan dankemasyarakatan dengan
harapan etika politik dapatterwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terwujudnya etika politik dengan baik dalam
kehidupanberbangsa dan bernegara sangat ditentukan olehkejujuran dan keikhlasan
hati nurani dari masing-masingwarga negara yang telah memiliki hak politiknya
untukmelaksanakan ajaran moral dan norma-norma aturanberpolitik dalam negara.
Etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya
sebagai warga Negara terhadap Negara, hukum yang berlaku dan lain
sebagainya.Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan
alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi
politik secara bertanggung jawab.Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan
apriori, melainkan secara rasionalobjektif dan argumentative. Etika politik
tidak langsung mencampuri politik praktis.
Tugas etika politik membantu agar pembahasan
masalah-masalahidiologis dapat dijalankan secara obyektif.Hukum dan kekuasaan
Negaramerupakan pembahasan utama etika politik.Hukum sebagai lembaga piñata masyarakat
yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakatyang efektif sesuai dengan struktur ganda
kemampuan manusia (makhluk individudan sosial).Jadi etika politik
membahas hukum dan kekuasaan. Prinsip-prinsipetika politik yang menjadi titik
acuan orientasi moral bagi suatu Negara adalahadanya cita-cita
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada
penyediaan alat-alat untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik
secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka, dan apiori,
melainkan secara rasional,objektif, dan argumntasi. Adalah salah satu paham
kalau etika politik langsung mau mencampuri politik praktis-sebagaimana etika
pada umumnya tidak dapat menetapkan apa yang harus dilakukan seseorang.
Tugas etika politik adalah subsidier : membantu agar
pembahasan masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara obyektif, artinya
berdasarkan argument-argumen yang dapat dipahami dan ditanggapioleh semua yang
mengerti permasalahan. Etika politik tidak dapat mengkhotbahi para politikus,
tetapidapat memberikan patokan-patokan orientasi dan pegangan-pegangan
normative bagi mereka yang memang mau menilai kualias tatanan dan ehidupan
politik dengan tolak ukur martabat manusia ( Franz Magins-Suseno.1986. 2-3
).
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik
yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun
institusi-institusi politik yang adil.Etika politik membantu untuk menganalisa
korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur
politik yang ada.Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika
politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu
dalam bernegara.
Pancasila merupakan dasar negara dan sekaligus ideologi
bahasa, oleh sebab itu nilai-nilai yang tersurat maupun yang tersirat harus
dijadikan landasan + tujuan mengelola kehidupan negara,bangsa, masyarakat.
Dengan kata lain nilai-nilai pancasila wajib dijadikan norma moral dalam
menyelenggarakan negara menuju cita-cita seperti tercantum dalam pembukaan UUD
1945. Politik disatu sisi berarti kekuasaan dan disisi lain berarti
kebijaksanaan (policy). Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus mengacu
pada dasar dan ideologi negara,oleh sebab itu politik pemerintah indonesia
wajib hukumnya untuk selalu mendasarkan dirinya pada nilai-nilai atau norma
pancasila.
Etika politik pancasila mengamanatkan bahwa pancasila
sebagai nilai dasar kehidupan bernegara, berbansa dan bermasyarakat harus
dijabarkan dalam bentuk perundang-undangan, peraturan atau ketentuan yang
dibuat oleh penguasa. Dengan kata lain semua produk hukum yang berlaku
diindonesia tidak boleh bertentangan dengan jiwa dan semangat pancasila.
Misi etika politik dan pemerintahan –Etika Politik dan
Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk
bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki
keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti
melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat.
Etika
politik ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku
politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik
serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai
tindakan yang tidak terpuji lainnya.
2.
Pancasila Sebagai
Sistem Etika
Pada dasarnya, tidak seorangpun bangsa Indonesia dapat
melepaskan diri dari kelima sila pancasila tanpa menyalahi
kemanusiaan.Kedudukan pancasila merupakan sistem etika.Artinya, manusia
Indonesia harus dapat membedakan antara uyang halal dan yang haram, antara yang
boleh dan tidak boleh, walaupun dapat dilakukan.
Pancasila merupakan sebuah sistem etika yang dapat diartikan
pancasila menjadi pedoman moral langsung objektif dalam kehidupan yang
menunjukkan kearah mana gerqak perjalanan, bagaimana manusia Indonesia haeus
hidup, dan mengatur perbuatan dalam kehidupan.
Sebagai suatu sistem etika, pancasila memberi pandangan dan
prinsip tentang harkat kemanusiaan serta kultur yang dapat dijamin berhadapan
dengan pemerintahan modern.
Pancasila dikaitkan dengan sistem etika maka akan memberi
jawaban mengenai kehidupan yang dicita-citakan, sebab di dalamnya terkandung
prinsip terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Selain
itu, Pancasila memberi jawaban bagaimana seharusnya manusia Indonesia
bertanggungjawab dan berkewajiban sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan bernegara, selain etika kelompok
bagaimana dengan sesama warga negara. Dalam hidup berkelompok, selain etika
kelompok bagaimana warga negara Indonesia bergaul dalam hidupnya, akan muncul
etika yang berkaitan dengan kerja atau profesi, seperti etika guru/ dosen
Indonesia, etika jurnalistik/ wartawan Indonesia, dan sebagainya.
Uraian
tersebut menunjukkan bahwa Pancasila pun memiliki sistem etika seperti yang telah
diuraikan, yaitu memiliki etika yang bersifat umum dan khusus; mengatur etika
individual dan sosial, serta mengembangkan etika yang berkaitan dengan lingkungan
dan kerja atau profesi.
3.
Pancasila sebagai
Etika Politik
Sejauh ini, sudah terbukti bahwa Pancasila menjadi pusat
perhatian di dalam berbagai warna politik yang dapat kita amati.makna ideology
melekat pada pancasila. Sebagai suatu system kepercayaan, Pancasila hanya bias
bermakna jika nilai-nilainya tercermin di dalam tingkah laku abdi Negara dan
warga masyarakat secara keseluruhan. Idealnya, Pancasila hadir di dalam praktek
kekuasaan Negara, menjiwai setiap kebijakan pemerintah, menjadi landasan di
dalam berbagai interaksi politik, serta menyemangati hubungan ekonomi, sosila,
dan budaya bangsa Indonesia.
Dalam praktik pemerintahan, pengamalan nilai-nilai Pancasila
seharusnya menjadi landasan etis.Pancasila sepatutnya hadir sebagaisuatu system
yang mewakili kepribadian bangsa.Pemerintah yang berdasarka Demokrasi Pancasila
sepantasnya menjadi acuan yang jelas bagi semua WNI dalam berbagai tingkatan
dan ruang lingkup politik.
Melihat semua kemungkinan itu, sangat wajar jika pada
tataran analisis lebih lanjut Pancasila sebagai etika politik perlu ditegaskan
sebagai tolak ukur untuk menilai keberhasilan bangsa membangun sebuah system
pemerintahan yang memihak kepada kepentingan rakyat.
Berdasarkan etika politik bangsa Indonesia, dapat dipahami
bahwa sila pertama adalah dasar etika politik yang bersifat rohaniah, dan atas
dasar itu dibangun hubungan etika politik bangsa Indonesia dalam empat fondasi
gerak dan aktivitas politik yang mempertimbangkan nilai Pancasila.
Dengan dasar-dasar ini sebagi pimpinan dan pegangan
pemerintah Negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan lurus untuk
mencapai kebahagiaaan rakyat. Dengan bimbingan dasar yang tinggi dan murni akan
dilaksanakan tugas yang tidak ringan (Kaelan dan Achmad Zubaidi. 2004.
62-69).
Namun realita yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa
penerapan pancasila sebagai etika politik sudah mulai terkikis. Salah satu
contoh kecilnya adalah curi start dalam berkampanye. Sampai ke tindakan korupsi
yang sudah menjadi tontonan kita sehari-hari di tv.
Nilai-nilai Terkandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika
Politik
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang
merupakan satukesatuan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan
masing-masing sila-silanya.Karena jika dilihat satu persatu dari masing-masing
sila itu dapat sajaditemukan dalam kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun,
makna Pancasilaterletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu
kesatuan yang tidak bisa ditukar
balikan letak dan susunannya.
Etika politik berdasarkan Pancasila sebagai bagian dari
konsep etika Pancasila secara umum mengacu kepada hakikat nilai pancasila.
Hakikat manusia Indonesia adalah sifat dan keadaan yang berperi-Ketuhanan Yang
Maha Esa, berperi-Kemanusiaan, berperi-Kebangsaan, berperi-Kerakyatan, dan
berperi-Keadilan sosial.
Sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai –nilai moral
bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik
menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai dengan:
v Asas legalitas ( legitimasi hukum).
v Di sahkan dan dijalankan secara
demokratis ( legitimasi demokratis)
v Dilaksanakan berdasarkan prinsip –
prinsip moral / tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar
tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut
kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus
berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta moral kemanusiaan (sila
2).
Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu ‘
keadilan’ dalam hidup bersama ( keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam
sila 5, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan dan pnyelenggraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan,
serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.Negara
adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang
dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4).
Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan
negara.Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala
kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat
sebagai pendukung pokok negara.
*Nilai-nilai
Etika dalam Pancasila
Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia melakukan semua
tindakan sehari-harinya baik dalam masyarakat maupun dalam bernegara. Etika
mambantu manusia menunjukan nilai-nilai untuk membulatkan hati mengambil
keputusan tentang tindakan apa yang perlu dilakukan dan mengapa hal itu
dilakukan.
Pancasila adalah etika bagi bangsa Indonesia dalam
bermasyarakat dan bernegara. Adapun nilai-nilai etika yang terkandung dalam
Pancasila tertuang dalam berbagai tatanan berikut ini:
1. Tatanan
bermasyarakat
2. Tatanan
bernegara
3. Tatanan
kerjasama antar negara atau tatanan luar negeri
4. Tatanan
pemerintah daerah
5. Tatanan
hidup beragama
6. Tatanan
bela negara
7. Tatanan
pendidikan
8. Tatanan
berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat
9. Tatanan
hukum dan keikutsertaan dalam pemerintahan
10. Tatanan
kesejahteraan sosial
4. Etika Politik Indoesia
Etika politik di
indonesia menjurus kepada cara kekuasaan itu di dapatkan secara demokratis
sekaligus menggunakannya secara demokrasi pula. Demokrasi bangsa indonesia
menurut Hatta (1966:24) adalah demokrasi sosial yakni meliputi seluruh
lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Menurut Hatta ada tiga sumber
yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial itu :
a.
Paham sosialis barat
yang menarik perhatian pendiri negara adalah karena dasar-dasar peri kemanusian
yang dibelanya dan menjadi tujuannya.
b.
Ajaran islam yang
menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan
antara manusia sebagai makhluk tuhan sesuai dengan sifat allah swt yang
pengasih dan penyayang.
c.
Pengetahuan bahwa
masyarakat berdasarkan kolektivisme.supaya kekuasaan diperoleh denga cara yang
baik dan dilaksanakan bukan sekedar demokrasi-demokrasi atau demokrasi sebagai
topeng belakatapi demokrasi dalam sistem pancasila yaitu demokrasi yang harus
diberkati oleh tuhan yang maha esa.
Demokrasi indonesia
harus dijalankan dengan perbuatan yang berdasarkan, kebenaran, kejujuran, kebaikan,
persaudaraan, dan peri kemanusian. Syarat utama untuk melaksanakan ini ialah
adanya keinsyafan atau kesadaran tentang :
1.
Tanggugjawab
2.
Toleransi
3.
Kesedian hati
melaksanakan prinsip the right man in the right place
Menurut
Hatta(1980:32-34) menjelaskan bahwa kedaulatan rakyat yang tidak diiringi
tanggungjawab bukanlah kedaulatan rakyat. Rakyat melakukan kedaulatannya tidak
disertai dengan rasa tanggung jawab. Inti tanggungjawab politik adalah
kesadaran (keinsyafan) dan pada
kecerdasan politik. Kemudian Hatta (1980:39-40) mempertegas dengan ungkapan
bahwa kedaulatan rakyat dengan tidak ada keinsyfan politik pada rakyat akan
menjadi anarki.
Kedaulatan t pada dasarnya adalah legitimasi demokratis.
Menurut Suseno (2001:289-294) satu satu legitimasi dasar kekuasaan yang sah
adalah legitimasi yang demokratis. Jadi, kekuasaan harus dilegitimasikan dari
khendak mereka yang dikuasai.
Pengaruh
pendapat para ahli diatas kebijakasaan atau keputusan yang akan diambil memang
besar. Dalam proses pengambilan keputusan, peranan mereka tetap terbatas dan itu lah sebabnya legitimasi teknokratis
harus ditolak.
Penerapan Nilai-nilai Etika Pancasila dalam Kehidupan
Politik
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik
menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas(legitimasi
hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, disahkan dan
dijalankan secara demokratis (legitimasi demokrasi), dan
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar
tersebut.Dalam pelaksanaan penyelenggaraan Negara, baik itu yang berhubungan
dengan kekuasaan, kebijakan umum, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila. Dengan demikian, pancasila
merupakan sumber moralitas dalam proses penyelenggaraan Negara, terutama dalam
hubungannya dengan legitimasi kekuasaan dan hukum. Pelaksanaan kekuasaan dan
penegakan hukum dinilai bermoral jika selalu berdasarkan pancasila, bukan
berdasarkan kepentingan penguasa belaka.Jadi pancasila merupakan tolok ukur
moralitas suatu penggunaan kekuasaan dan penegakan hukum.
Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya
merupakan sumber peraturan perundang-undangan melainkan juga sumber moralitas
utama dalan hubungannya dengan legitiminasi kekuasaan, hukum serta
berbagai}kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan. Ketuhanan Yang Maha
Esa serta sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah merupakan sumber
nilai – nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan }kenegaraan. Negara
Indonesia yang berdasarkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah negara
Teokrasi yang mendasarkan kekuasaan dan penyelenggaraan negara pada
ligitiminasi religius.
Kekuasaan kepala negara tidak mendasarkan pada legitiminasi
religius melainkan mendasarkan pada legitiminasi hukum dan demokrasi.Oleh
karena itu asas sila pertama lebih berkaitan dengan legitiminasi moral.Inilah
yang membedakan negara yang Berketuhanan yang Maha Esa dengan teokrasi.Walaupun
dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitiminasi religius, namun
secara moralitas kehiodupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal
dari Tuhan, terutama hukum serta moral dalam kehidupan bernegara.
Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.Pernyataan tersebut secara normative merupakan artikulasi sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi harus
diingat, pernyataan tersebut bukan sebuah penegasan bahwa Indonesia adalah
Negara teokrasi yang mendasarkan kekuasaan Negara dan penyelenggaraan Negara
berdasarkan legitimasi religious, dimana kekuasaan kepala Negara bersifat
absolute atau mutlak.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa lebih berkaitan legitimasi
moral. Artinya, proses penyelenggaraan Negara dan kehidupan Negara tidak boleh
diarahkan pada paham anti Tuhan dan anti agama, akan tetapi kehidupan dan
penyelenggaraan Negara harus selalu berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dengan demikian sila pertama merupakan legitimasi moral religious bagi
bangsa Indonesia.
Selain berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara Indonesia
juga harus berkemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan kata lain, kemanusiaan
yang adil dan beradab memberikan legitimasi moral kemanusiaan dalam
penyelenggaraan Negara. Negara pada prinsipnya adalah persekutuan hidup manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan
penyelenggaraan Negara.Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan mempunyai
kedudukan mutlak dalam kehidupan Negara dan hukum, sehingga jaminan hak asasi
manusia harus diberikan kepada setiap warga Negara.Sila Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Kedua sila tersebut memberikan legitimasi moral religius
(sila Ketuhanan Yang Maha Esa) dan legitimasi moral kemanusiaan (sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dalam kehidupan dan proses penyelenggaraan
Negara, sehingga Negara Indonesia terjerumus ke dalam Negara kekuasaan.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan juga merupakan sumber etika politik bagi
bangsa Indonesia.Sila ini menegaskan bahwa Negara berasal dari rakyat dan
segala kebijakan dan kekuasaan diarahkan senantiasa untuk rakyat.Sila ini
memberikan legitimasi demokrasi bagi penyelenggaraan Negara.
Oleh karena itu, dalam proses penyelenggaraan Negara, segala
kebijakan, kewenangan dan kekuasaan harus dikembalikan kepada rakyat. Dengan
demikian, aktivitas politik praktis yang menyangkut kekuasaan ekseekutif,
legislatif dan yudikatif serta konsep pengambilan keputusan, pengawasan dan
partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat.
Sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia memberikan
legitimasi hukum (legalitas) dalam kehidupan dan penyelenggaraan
Negara.Indonesia merupakan Negara hukum yang selalu menjunjung tinggi aspek
keadilan sosial.Keadilan sosial merupakan tujuan dalam kehidupan Negara, yang
menunjukkan setiap warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan adil dalam
bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Oleh karena itu, untuk mencapai aspek keadilan tersebut,
kehidupan dan penyelenggaraan Negara harus senantiasa berdasarkan hukum yang
berlaku.Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan Negara,
yang bisa mengakibatkan hancurnya tatanan hidup kenegaraan serta terpecahnya
persatuan dan kesatuan bangsa.
Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila
harus dijadikan patokan bagi setiap penyelenggara Negara dan rakyat Indonesia.
Nilai-nilai tersebut harus diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan,
sehingga pada akhirnya akan terbentuk suatu pemerintahan yang etis serta rakyat
yang bermoral pula.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat
dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia.Oleh karena itu
etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral.Hal ini berdasarkan
kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai
subjek etika.Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian
kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia
sebagai manusia.
Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun
negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai
manusia.Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa
didasarkan kepada hakikat manusia sebagi makhluk yang beradab dan berbudaya.
Pancasila adalah sebagai suatu sistem filsafat yang pada
hakikatnya merupakan nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran
norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan laianya.
Suatu pemikiran filsafat tidak seccara langsung menyajikan
norma – norma yang merupakan pedoman dakam suatu tindakan atau aspek praktis
melainkan nilai – nilai yang bersifat mendasar.
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang prinsip –
prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia yang membicarakan masalah –
masalah yang berkaitan dengan predikat “susila” dan “tindak susila”, “baik” dan
“buruk”.
Hubungan sistematik antara nilai, norma dan moral tersebut
terwujud dalam suatu tingkah laku praktis dalam kehidupan manusia.
Etika politik adalah termasuk lingkup etika sosial manusia
yang secara harfiah berkaitan dengan bidang kehidupan politik.
4.2 Saran
Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam
sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi terwujud dengan
adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan mentaati peraturan yang
ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi
pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat sebagai bagian terpenting
dari terbentuknya suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. Fachri.2003. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi.
Padang: Universitas Negeri Padang.
Magnis, Franz dan dan
Suseno.1986. ETIKA DASAR. Jakarta: Gramedia.
Nurtjahjo, Hendra.2005. Filsafat
Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Kaelan.2010.Pendidikan pancasila.Fakultas Filsafat UGM.Yogyakarta:Paradigma
Sunoto. 1982. Mengenal
FILSAFAT PANCASILA Pendekatan Melalui : Etika
Pancasila. Yogyakarta.Hanindita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar